BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bahasa sastra adalah bahasa yang khas dalam dunia
sastra dan menurut beberapa orang menyimpang dari cara penuturan yang telah
bersifat otomatis, rutin, biasa, dan wajar. Penuturan dalam karya sastra selalu
diusahakan dengan cara lain, baru, dan belum pernah dipakai sebelumnya. Unsur
kebaruan dan keaslian merupakan suatu hal yang menentukan nilai sebuah karya.
Penyimpangan bahasa dalam sastra tidak menjadi kebebasan yang tak terbatas.
Fungsi komunikatif bahasa masih membatasi kebebasan pembiasan bahasa itu.
Bahasa yang dibiaskan masih mendasarkan pada bahasa yang konvensional agar
pesan yang disampaikan sastra dapat dipahami dan terima oleh pembaca sehingga
diperlukan keefektifan dalam pengungkapan suatu karya sastra. Hal itu dilakukan
sebagai usaha mendeskripsikan makna yang terkandung di dalam karya tersebut
serta menikmati keindahannya .
Sastra menyediakan norma untuk pemakaian bahasa yang
baik dan dalam hal ini ditekankan pada aspek pragmatis yang sejak dulu
memainkan peranan penting dalam retorika. Retorika seringkali menjadi sistem
normatif atau preskriptif, yaitu menentukan norma yang harus diterapkan dalam
pemakaian bahasa yang baik dan indah.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana pengertian bahasa sastra ?
2.
Apa saja karakteristik dari bahasa
sastra ?
3.
Bagaimana penjelasan mengenai style bahasa
sastra ?
C. MAKSUD DAN TUJUAN MAKALAH
1.
Sebagai pemenuhan dari tugas diskusi
mata kuliah Kajian Kesusastraan.
2.
Agar mahasiswa mengetahui tentang
pengertian dari bahasa sastra.
3.
Agar mahasiswa bisa mengetahui tentang
apa saja karakteristik dari bahasa sastra.
4.
Agar mahasiswa bisa mengetahui
penjelasan tentang style bahasa sastra
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Pengertian
Bahasa Sastra
Bahasa
sastra adalah bahasa yang khas dalam dunia sastra dan menurut beberapa orang
menyimpang dari penuturan yang bersifat otomatis, rutin, biasa dan wajar.
Penuturan dalam karya sastra selalu diusahakan dengan cara lain, baru, dan
belum pernah dipakai sebelumnya.
Unsur
kebaruan dan keaslian merupakan suatu hal yang menentukan nilai sebuah karya.
Penyimpangan bahasa dalam sastra tidak menjadi kebebasan yang tak terbatas.
Fungsi komunikatif bahasa masih membatasi kebebasan pembiasan bahasa itu. Bahasa
yang dibiaskan masih mendasarkan pada bahasa yang konvensional agar pesan yang
disampaikan sastra dapat dipahami dan terima oleh pembaca sehingga diperlukan
keefektifan dalam pengungkapan suatu karya sastra. Hal itu dilakukan sebagai
usaha mendeskripsikan makna yang terkandung di dalam karya tersebut serta
menikmati keindahannya.
Untuk memperoleh pengungkapan yang
efektif, bahasa dalam sastra disiasati, dimanipulasi, dan didayagunakan
secermat mungkin sehingga tampil dengan sosok yang berbeda dengan bahasa nonsastra.
Bahasa sastra dicirikan sebagai bahasa yang mengandung unsur emotif dan
bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah
yang rasional dan denotatif. Penggunaan bahasa sastra lebih ditujukan pada
tujuan estetik karena di dalamnya hanya menggunakan unsur emotif dan bersifat
kononatif (Nurgiyantoro, 2000: 273). Keberadaan bahasa sastra itu telah diakui
dan diterima karena bahasa sastra mempunyai karakteristik khusus yang
membedakannya dengan bahasa nonsastra. Bahasa sastra, tentu saja lebih dominan
menggunakan ciri emotif - konotatif sebab sastra mempunyai tujuan estetis
penyampaian sesuatu yang tak langsung.
Sastra menyediakan norma untuk pemakaian
bahasa yang baik dan dalam hal ini ditekankan pada aspek pragmatis yang sejak
dulu memainkan peranan penting dalam retorika. Retorika seringkali menjadi
sistem normatif atau preskriptif, yaitu menentukan norma yang harus diterapkan
dalam pemakaian bahasa yang baik dan indah.
b. Karakteristik Bahasa Sastra
Sebagai
salah satu jenis karya seni, sastra tentunya tidak lepas dari aspek estetika
atau aspek keindahan. Namun, perwujudan keindahan dalam karya sastra berbeda
dengan karya seni lainnya. Jika aspek keindahan dalam karya seni lain dapat
diamati secara langsung melalui bentuknya, sastra tidak demikian. Sastra mampu
memancarkan keindahan dalam dirinya tidak hanya dari bentuk, namun yang lebih
utama lagi adalah dari bahasa yang digunakan di dalamnya. Bahasa sastra adalah
bahasa yang istimewa (Simpson, 2004:98). Keistimewaan bahasa dalam sastra
tersebut tampak pada pengolahan kata dan kalimat yang kesemuanya mampu
menciptakan nuansa keindahan di dalamnya. Jadi, karakteristik bahasa sastra
yang pertama adalah penggunaan bahasa yang estetis atau indah.
Kedua,
bahasa sastra merupakan plastik untuk membungkus amanat dalam sebuah cipta
sastra. Bahasa dalam karya sastra dijadikan sebagai media untuk menyampaikan
amanat berupa ajaran dan berbagai pesan moral kepada pembacanya. Berbagai pesan
moral yang disampaikan dalam karya sastra dibungkus dengan bahasa yang indah,
sehingga pembaca bisa mendapatkan dua hal utama dalam sastra yaitu kenikmatan
dari bahasa sastra dan manfaat di balik bahasa tersebut.
Ketiga,
bahasa sastra dinamis. Hakikatnya, bahasa dalam karya sastra tidaklah
berbeda dengan bahasa-bahasa yang digunakan pada umumnya. Perbedaannya hanya
terletak pada pemanfaatan bahasa itu sendiri. Jika karya-karya nonsastra
terkesan kaku dengan aturan-aturan baku tata bahasa formal, maka sastra tidak
demikian. Sastra mampu memanfaatkan bahasa secara leluasan, karena penyusunan
bahasa dalam karya sastra lebih dinamis (Tynjanov dalam Fokkema dan
Kunne-Ibsch, 1977:22). Tidak ada tata bahasa formal yang mengatur pemanfaatan
bahasa dalam karya sastra. Setiap pengarang sastra dapat memanfaatkan bahasa
secara leluasa sesuai dengan caranya sendiri dalam menyampaikan pikiran,
perasaan, gagasannya. Keleluasaan setiap pengarang dalam memanfaatkan bahasa
dalam karya sastra dikenal dengan istilah licentia poetica.
Keempat,
bahasa sastra bersifat simbolis dan konotatif. Sastra berisi realitas kehidupan
manusia. Realitas kehidupan tersebut ada yang dikemukakan oleh pengarang sastra
secara lugas dengan menggunakan bahasa-bahasa yang denotatif, namun ada juga
yang diungkapkan secara simbolik dengan menggunakan bahasa-bahasa yang
konotatif. Bahkan, penggunaan simbol dan bahasa yang konotatif menjadi salah
satu ciri bahasa sastra. Dengan bahasa yang simbolis dan konotatif, pengarang
sastra dapat mewakilkan kesan pribadinya terhadap sesuatu. Dengan begitu,
walaupun pengarang merasa simpati, takut, atau bahkan benci kepada
sesuatu atau seseorang, dia tidak harus menyatakannya secara langsung, namun
melalui simbol-simbol bahasa.
c.
Style Bahasa Sastra
Style
adalah cara pengucapan bahasa dalam sastra atau cara pengarang mengungkapkan sesuatu
yang kan diungkapkan. Style dalam penulisan sastra ditulis dalam konteks
kesasatraan dengan tujuan untuk mendapatkan efek keindahan yang lebih menonjol.
Stilistik
seringkali memperlihatkan persamaan dengan retorika, tetapi tanpa aspek
normatifnya. Stilistik, ilmu gaya bahasa juga diberi definisi bermacam-macam
tapi pada prinsipnya selalu meneliti pemakaian bahasa yang khas dan istimewa
yang merupakan khas seorang penulis, khususnya dalam penyimpangan dari
pemakaian bahasa seorang sastrawan dari mashab atau aliran ataupun angkatan
tertentu (A. Teeuw, 1984:70-72).
Gaya
seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan pengarang lainnya
karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat
dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu di sekitarnya.
Sehingga dapat didefinisikan bahwa gaya digunakan sebgai cara pemakaian bahasa
yang spesifik oleh seorang pengarang.
Gaya
merupakan kemajiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan kata-kata,
kelompok kata, kalimat, dan ungkapan yang pada akhirnya akan ikut menentukan
keberhasilan, keindahan, dan kemasukakalan suatu karya yang menjadi hasil
ekspresi dirinya (A. Sayuti, 2000:173-175). Pengarang tidak secara datar
menggunakan bahasa untuk megungkapakan isi karya sastranya, melainkan pengarang
membumbui bahasa tersebut dengan nada. Nada yang diungkapkan oleh pengarang
tersebut dapat dikatakan sebagai ciri
atau karakteristik bahasa sastra.
atau karakteristik bahasa sastra.
Unsur-unsur
yang membangun gaya seorang pengarang meliputi diksi, imajeri, dan sintaksis.
Diksi, dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dilakukan oleh pengarang.
Diksi sangat erat kaitannya dengan imajeri karena sebuah kata dapat menciptakan
suatu imaji tertentu. Imajeri diartikan sebagai kata yang dapat membentuk
gambaran mental atau dapat membangkitkan pengalaman tertentu yang merupakan
kumpulan imaji dalam keseluruhan fiksi. Jenis imaji yang paling mendasar adalah
simbol. Gagasan dan perasaan seringkali tidak dapat terwakili dengan mudah
melalui sebuah serangkaian kata meski kehadiran kata tersebut sangat jelas.
Simbol dapat menimbulkan efek tertentu yang mengacu pada tema, tokoh, dan
elemen lain. Sintaksis, yaitu cara pengarang menyusun kalimat dalam karyanya,
karakteristik panjang
pendek
kalimatnya, proporsi sederhana majemuknya.
Gaya
bahasa yang dipergunakan pengarang, meski barangkali tidak bersifat luar biasa,
bersifat unik, di samping dekat dengan watak dan jiwa pengarang, juga membuat
bahasa yang digunakan memiliki nuansa tertentu; ada gradasi makna dan
keakrabannya. Hal demikian itulah yang akan menjadi penciptaan nada dalam fiksi
maupun puisi.
Puisi
dan fiksi sebagaimana yang banyak orang tahu adalah konfigurasi pesan. Tetapi
tentunya penyair tidak sekadar mengemas pesan-pesan linguistik, lalu memadukan
efek gramatikal dan mendewakan stilistika yang mengkritik lewat kata telanjang.
Sejenak saja, orang bisa tahu maksudnya, bicara dengan "bahasa yang
verbal" tentang ketimpangan dan ketidakadilan. Fiksi ataupun puisi sering
dijadikan pilihan seniman untuk menuangkan ekspresi. Barangkali
penyair/sastrawan mesti menukar ketajaman kata dengan kekarnya jeruji dan
lantang "lantang" bicara, bertutur tentang penguasa yang dijilat dan
rakyat dilaknat. Kata-katanya yang ironi sekaligus jenaka justru lebih
bertenaga.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Unsur
kebaruan dan keaslian merupakan suatu hal yang menentukan nilai sebuah karya.
Penyimpangan bahasa dalam sastra tidak menjadi kebebasan yang tak terbatas.
Bahasa
sastra adalah bahasa yang istimewa (Simpson, 2004:98). Keistimewaan bahasa
dalam sastra tersebut tampak pada pengolahan kata dan kalimat yang kesemuanya
mampu menciptakan nuansa keindahan di dalamnya.
Gaya
seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan pengarang lainnya
karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat
dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu di sekitarnya.
Sehingga dapat didefinisikan bahwa gaya digunakan sebgai cara pemakaian bahasa
yang spesifik oleh seorang pengarang.
b. Saran
DAFTAR
PUSTAKA
your article i s this very helpful thanks for sharing..............:)
BalasHapus